Beranda | Artikel
Hukum Nyanyian dan Alat Musik
Kamis, 9 Maret 2017

HUKUM NYANYIAN DAN ALAT MUSIK

Pertanyaan
Saya menyaksikan dialog dalam chanel TV antara dua syekh. Salah seorang menfatwakan keharaman nyanyian yang diiringi dengan musik, tanpa melihat pembahasan apa yang dinyanyikan. Beliau berdalil dengan ijmak para ulama akan hal itu. Sementara pendapat kedua, membolehkan nyanyian yang diiringi dengan music jika tidak mengandung perkataan kotor atau campur baur yang berlebihan. Beliau mengingkari yang satunya terkait berdalil dengan ijmak, bahkan beliau mengatakan tidak ada ijma dalam fikih. Bisa jadi dia belum tahu orang yang memberikan fatwa berbeda dengannya. Beliau juga berdalil kebolehan (nyanyian) dengan hadits dua wanita yang beryanyi di rumah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama: Jumhur ulama di antaranya imam mazhab empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) serta para pengikutnya berpendapat bahwa ijma termasuk rujukan syariat. Mereka menjadikan ijmak sebagai dalil dengannya dalam banyak masalah. Mereka berdalil tentang legalitas ijmak dengan banyak dalil dari Quran dan Sunah Nabawiyah.

Maka mengingkari ijmak setelah itu termasuk pengingkaran yang tidak dibenarkan. Sebagai tambahan, lihat buku ‘Ar-Rad Alal-Qardhawi wal Judai’ (bantahan terhadap Qordowi dan Al-Judai) oleh Abdullah Ramadan Musa, hal. 81 dan setelahnya.

Kedua : Ulama Faqih dan peneliti, Ibnu Hajar Al-Haistami As-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Senar dan musik seperti mandolin, kecapi dan gendang atau simbal (alat musik) dan selain peralatan lainnya yang terkenal dikalangan kaum fasik dan suka hura-hura, semua itu haram tanpa ada perbedaan. Siapa yang mengatakan adanya perbedaan, maka dia telah salah atau dikuasai hawa nafsunya hingga membuatnya isu dan buta dengan menolak petunjuk serta tergelincir dari jalur ketakwaannya.

Di antara yang menyatakan ijmak akan haramnya semua itu adalah Imam Abul Abbas Al-Qurtuby. Beliu dikenal terpercaya dan adil. Beliau mengatakan seperti apa yang dikutip  para imam kami dan menetapkannya. Adapun seruling dan gendang kecil, tidak ada perbedaan haramnya mendengarkannya. Saya belum mendengarkan dari seorang pun yang didengar pendapatnya dari kalangan salaf serta para imam khalaf (masa belakangan) yang membolehkan hal itu. Bagaimana tidak diharamkan, dia adalah syiar para peminum khamar dan orang fasik serta pemicu syahwat, kerusakan dan kekacauan. Jika seperti itu halnya, maka tidak ragu lagi pengharamannya dan menghukumi fasik serta berdosa bagi pelakunya.

Di antara yang menukil ijmak tentang hal itu juga imam dari kalangan ulama kami dalam mazhab yang datang belakangan, yaitu  Abul fathi Sulaim bin Ayub Ar-Rozi, beliau mengatakan dalam ‘taqribnya’ setelah mengetengahkan hadits pengharaman gendang kecil, “Dalam hadits lainnya disebutkan bahwa Allah mengampuni semua pendosa kecuali pemain kecapi dan gendang kecil. Selain itu, hal ini merupakan ijmak.”  [Kafur-Ru’a An muharramat Lahwi Was Sima, hal. 118]

Di antara yang menukilkan ijmak juga Abu Hasan Al-Baghawi beliau juga mengatakan, “Mereka sepakat soal pengharaman seruling, permainan melalaikan dan musik.” [Syarhu As-Sunah, 12/383].

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Peralatan yang melalaikan seperti mandolin, seruling dan macam seruling adalah peralatan untuk kemaksiatan secara ijmak.” [Al-Mughni, 9/132].

Telah dinukil ijmak tentang haramnya nyanyian yang diiringi musik dari sekelompok ulama dari berbagai mazhab yang menjadi acuan kaum muslimin. Seperti Imam Ibn Jarir Ath-Thabari, Abu Bakar Ajuri, abu Thayib Syafii, Abu Amr Ibnu Solah dan lainnya. Silahkan lihat nas mereka dan kitab yang terpercaya dari kitab ‘Ar-rad Ala Qordhowi wal Judai’. Hal. 351 dan setelahnya. Silahkan lihat juga ‘Igotsatul lahfan’ karangan Ibnu Qoyim (1/415).

Ketiga : Jikat telah ada ketetapan ijmak akan haramnya nyanyian, masalahnya sudah jelas. Maka menolak hal seperti ini masuk dalam perkara berbahaya. Apalagi telah dinukil secara mutawir serta dijadikan hujah oleh sekelompok para ulama fikih.

Tapi jika  keabsahan ijmak (tentang haramnya nyanyian dan musik) belum tetap dan masih ada perbedaan di dalamnya, tidak berarti nyanyian tidak haram. Karena orang yang berpendapat haram bukan sekedar berdalil dengan  ijmak. Akan tetapi berdalil dengan banyak dalil dari Al-Quran dan Sunah, serta perkataan dan perbuatan para ulama salaf.

Ibnu Qoyyim rahimahullah telah menyebutkan banyak sekali dalil dan perkataan para ulama, dan menyebutkan dampak negative dari mendengar nyanyian dan musik dalam kitab ‘Igotsatul Lahfan’ di tempat yang barusan dinukil. Silahkan merujuknya. Silahkan lihat fatwa no. 5000, di dalamnya terdapat sebagian dalil dan perkataan (ulama).

Keempat: Adapun berdalil untuk membolehkan nyanyian dan musik dengan hadits dua anak kecil wanita, adalah dalil yang terbalik. Karena hadits ini lebih kuat menunjukkan haramnya nyanyian ketimbang membolehkannya. Hal itu seperti perkataan Abu Bakar radhiallahu anhu.

مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟

Seruling setan ada di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam?”

Abu Bakar memberi nama nyanyian dengan (seruling setan) dan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menetapkannya dengan penamaan ini. Tidak ragu lagi bahwa menyandarkan sesuatu kepada setan menunjukkan celaan dan menjauhkan darinya. Bagaimana ada orang yang mengatakan bahwa seruling setan itu halal?

Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak mengingkari Abu Bakar yang menamakan nyanyian sebagai seruling setan. Beliau hanya mengatakan,

وإنما قال له : ( دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ ) وكان ذلك في أيام عيد الأضحى . رواه البخاري (988) ، ومسلم (892)

Biarkan dua orang itu wahai Abu Bakar, karena ini hari raya.”

Waktu itu hari Idul Adha.

Diriwayatkan oleh Bukhari, (988) dan Muslim, (892) Terdapat dalam hadits bahwa dua anak wanita ini dahulu memukul (maksudnya rebana). Dalam hadits itu tidak ada dalil membolehkan nyanyian secara umum sebagaimana dipahami sebagian orang. Tapi nyanyian semacam  ini dibolehkan pada hari raya saja. Perhatikan dalam hadits dua anak wanita (maksudnya dua anak masih kecil belum balig), di hari raya, menyanyikan bait syair tentang keberanian dan peperangan. Hal ini yang menunjukkan hadits tentang dibolehkannya. Akan tetapi darimana mengambil dari hadits tersebut halalnya nyanyian seorang wanita dewasa yang indah suaranya dan diiringi dengan musik yang merusak hati dan berdampak (buruk). Dari mana diambil dari hadits bahwa nyanyian seperti ini halal?

Bahkan haddits –seperti tadi- menunjukkan larangan nyanyian. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam menyetujui Abu Bakar radhiallahu anhu yang menamakannya dengan seruling setan. Hanya saja diberi keringanan nyanyian wanita yang masih umurnya kecil. Apalagi di hari raya. Oleh karena itu Ummul Mukminin mengatakan tentang dua wanita itu:

وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ ، قَالَتْ : وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ

Saya mempunyai dua wanita kecil di antara wanita-wanita Anshar yang mendendangkan nyanyian perkataan masyarakat Anshar pada perang Bu’ats.” Beliau mengatakan, “Keduanya bukan penyanyi.”

Untuk menghalau kesimpulan  bahwa keduanya seperti para penyanyi yang telah ditetapkan larangan dan pengharamanya.

Abu Sulaiman Al-Khotobi rahimahullah mengatakan, “Telah dijelaskan dalam riwayat ini bahwa kedunya bukan penyanyi. Penyanyi adalah yang menjadikan nyanyian sebagai pekerjaan dan kebiasaan dan hal itu tidakk layak di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Adapun melantunkan satu dua bait dan menyanyikan suara yang tidak berisi kemunkaran dan perkara buruk, hal itu tidak menggugurkan kehormatan atau mencederai kesaksiaan.

Dahulu Umar bin Khotab radhiallahu anhu tidak mengingkari nyanyian musafir di tengah perjalanan  dan penggembala atau semisalnya. Dibolehkan  lebih dari satu orang ulama salaf rahimahumullah.

Hukum nyanyian yang sedikit berbeda dengan nyanyian yang  banyak seperti masalah  syair.

Ungkapan hadits (ini hari raya kita) memberikan keringanan bagi keduanya (untuk bernyanyi) sebagai ekspresi kegembiraan di hari raya dan syiar agama, juga sebagai sarana meramaikannya dan memperingatinya, agar tidak sama seperti hari-hari lainnya. [A’lamul Hadits Syarh Shahih Bukhari, karangan Al-Khatabi, 1/594-595].

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan setelah menukil perkataan Khatabi tadi, “Dalam hadits menunjukkan diharamkannya musik pada selain hari raya. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam menyebutkan sebabnya, yaitu karena hari raya. Hal itu menunjukkan bahwa tuntutan larangannya itu ada, akan tetapi ada yang menghalanginya yaitu kebahagiaan dan kesenangan yang ada pada hari raya. Dan beliau juga telah menyetujui  Abu Bakar yang menamakan gendang sebagai seruling setan. Hal ini menunjukkan adanya unsur haram jika tidak ada pengahalangnya.” [Fathul Bari, karangan Ibnu Rajab, 8/433].

Kelima: Adapun perkataan orang yang membolehkan nyanyian bahwa kebanyakan ulama mengeluarkan fatwa pengharaman nyanyian karena untuk menghindari keburukan.  Masalahnya bukan seperti itu, bahkan mereka dalam mengharamkannya ada dalil-dalil dari Al-Qur’an Karim dan Sunah Nabawi. Dalil dari sunah sangat jelas mengharamkan semua jenis alat musik. Siapa yang merenungkan dalil pengharaman nyanyian dan dampak buruk yang dapat merusak hati, maka dia akan jelas baginya kebenaran. Bahwa sebagian dalil  ini cukup untuk menetapkan pengharamannya.

Wallahu a’lam.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6498-hukum-nyanyian-dan-alat-musik.html